Sunday, June 25, 2006

Gobnor Djendral, Wartawan, & ”Tjap-Tjay”
Oleh SYAFIK UMAR

BULAN Juni 2006 ini tepat 60 tahun usia organisasi surat kabar Indonesia, Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), setelah pertama kali dibentuk oleh wartawan dan tokoh pers Indonesia 8 Juni 1946 di Yogyakarta. Kesempatan yang sangat baik itu dipergunakan wartawan dan tokoh pejuang pers Indonesia setelah ibu kota Republik Indonesia berpusat di Yogyakarta. Lima bulan sebelumnya, 9 Februari 1946 terbentuk organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo oleh tokoh-tokoh yang sama termasuk tokoh pers dari Jawa Barat. Sejak itu PWI dan SPS sering disebut sebagai "Saudara Kembar".

Sangat menarik perjalanan panjang pers Indonesia dalam catatan lima zaman. Dimulai zaman Kompeni, jajahan Inggris, Hindia-Belanda, Jepang, dan Republik Indonesia. Sejak lama terjadi perdebatan sengit di kalangan pers tentang surat kabar yang pertama terbit di Indonesia. Ada pihak yang menyebut surat kabar yang pertama beredar di Indonesia adalah Al Djawaib berbentuk majalah berkala, bukan harian. Beredar tahun 1285-1301, berbahasa Arab untuk bacaan penduduk terutama pribumi. Al Djawaib (Gema) ditemukan di Perpustakaan Nasional Jakarta terbitan XXII, September 1882. Jika disebutkan terbit antara tahun 1285-1301 mungkin tahun Hijriah. Majalah ini diterbitkan di Kota Asitanah (Istanbul), Turki. Peredarannya di banyak negara termasuk Hindia-Belanda (Indonesia). Parada Harahap dalam bukunya Ilmu Pers, menulis, Al-Djawaib terbit tahun 1795-1801 (Masehi).

Di kemudian hari ditemukan catatan, surat kabar yang pertama terbit di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles. Nomor pertamanya dicetak 7 Agustus 1744. Tentu itu pada zaman Kompeni Belanda. Karena diperuntukkan bagi dunia perdagangan dan yang berkepentingan adalah Kompeni Belanda, koran ini berbahasa Belanda. Penerbitan koran ini mendapat reaksi luas di kalangan Belanda sendiri. Konon para penulis Belanda menyoroti perubahan sikap yang sangat liberal dari penguasa Belanda pada waktu itu Gobnor Djendral Van Inhoff. Dewan XVII (17) yang merupakan pusat kebijakan Kompeni di Negeri Belanda tidak menyukai penerbitan koran Bataviase Nouvelles. Pemikiran liberal yang dimuat dalam koran ini dikhawatirkan Belanda memengaruhi kemajuan berpikir kalangan pribumi di Hindia-Belanda. Setelah dua tahun beredar, Bataviase Nouvelles akhirnya berhenti terbit pada 7 Juni 1746.

Banyak pula catatan yang menyingkapkan terbitnya Bataviase Nouvelles ini adalah semacam hadiah dan "kebaikan hati" Gobnor Djendral Van Imhoff. Izin penerbitan diberikan kepada onderkoopman dan Adjunct-Secretaris-General Jordens dengan izin octrooi hanya dalam waktu enam bulan. Setelah enam bulan lewat, izin penerbitannya diperpanjang tiga tahun. Setelah itu, Bataviase Nouvelles tidak pernah terbit lagi. Sejak itulah masyarakat termasuk orang Eropa dan Asia lainnya, apalagi pribumi hanya melihat berita perdagangan yang sederhana atau berita-berita tentang lelang barang.

Setelah 64 tahun kemudian atas kemurahan hati Gobnor Djendral Daendless, secara resmi kolonial Belanda menerbitkan De Bataviasche Koloniale Courant. Nomor pertama terbit 5 Agustus 1810. Gobnor Djendral pada waktu itu memiliki hak mutlak untuk izin penerbitan surat kabar. Begitu pula hak melarang masuknya koran dari negeri asing. Umurnya hanya satu tahun, karena bulan Agustus 1811 Hindia-Belanda dikuasai Inggris.

Pada zaman kekuasaan Inggris terbit surat kabar ketiga The Java Gouvernment Gazette, disingkat Java Gazette yang terbit 29 Februari 1812. Koran Java Gazette berhenti terbit setelah Belanda menguasai kembali Indonesia. Sebagai gantinya Belanda menerbitkan De Bataviasche Courant yang pada tahun 1828 diganti namanya De Javasche Counrant.

Sebenarnya menurut catatan sejarah, terbitnya surat kabar di Indonesia (Hindia-Belanda), lebih tua dibandingkan surat kabar di Negeri Belanda. Pada zaman Jan Pieterzoon Coen (pengucapan Indonesia asal Jawa Murdjangkung) tahun 1615 telah terbit koran bernama Memorie der Nouvelles tulisan tangan. Tentu atas perintah Murdjangkung. Di Amsterdam, baru pada tahun 1619 terbit surat kabar tulisan tangan. Bahkan konon jauh lebih dulu dibandingkan dengan Amerika, Australia, Jepang, Rusia, Hongaria, Yunani, Norwegia, Turki, India, dan beberapa negeri lainnya. (Dr. C.W. Wormser-Drieen dertig jaren of Java, Ten Have, Adam 1944)

Sebelum tahun 1836 hanya pemerintah Kolonial Hindia-Belanda yang boleh menerbitkan surat kabar. Masayarakat "partikulir" atau swasta tidak diperkenankan menerbitkan koran. Baru pada tahun 1836 "partikulir" diperbolehkan menerbitkan koran. Pada bulan Maret 1836 di Surabaya terbit Soerabaijas Advertentie-Blad. Sesuai dengan namanya, surat kabar ini hanya diperkenankan memuat iklan. Informasi lainnya dalam bentuk berita umum masih dilarang. Baru 17 tahun kemudian, pada tahun 1853 koran ini boleh berganti nama menjadi Soerabaijas Nieuws & Advertentie-Blad. Artinya, sejak itu koran ini memuat warta berita. Penerbitannya senantiasa di bawah pengawasan ketat Pemerintah Hindia-Belanda, walaupun penerbit dan pemodalnya tetap orang-orang Belanda. Koran ini tidak diperuntukkan bagi anak negeri atau pribumi. Bukan pula bacaan untuk pribumi. Sementara itu koran yang diperuntukkan bagi pribumi dengan bahasa rakyat atau daerah atau Melayu akhirnya pada 29 Maret 1855 terbit juga di Surakarta namanya Bromartani. Terbit mingguan tiap hari Kamis, Bromartani adalah kongsi Belanda, Harteveldt & Co. Untuk pribumi tapi tidak oleh pribumi. Bromartani bukanlah surat kabar Indonesia apalagi surat kabar nasionalis.

Terlalu lama menunggu, lebih dari setengah abad kemudian baru terbit surat kabar asli, tulen Indonesia yaitu Medan Prijaji di Bandung pada tahun 1907. Ketika terbit pertama di Bandung masih bentuk mingguan. Penerbitnya adalah Mas Tirto Hadisoerjo alias Djokomono. Tirto Hadisoerjo seperti banyak disiarkan menjelang Hari Pers Nasional (HPN) 2006 lalu adalah perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional. Baru pada tahun 1910 koran mingguan ini terbit menjadi harian setelah pindah dari Bandung ke Jakarta. Sebagai orang koran dan orang pergerakan yang selalu diawasi dengan ketat, Tirto dua kali dibuang ke luar Jawa baik ke Maluku (Ambon dan Pulau Bacan) maupun ke Lampung. Jadi, penerbitan ini dimulai sebelum gerakan Budi Utomo (20 Mei 1908).

Sejak itulah, tahun-tahun awal 1900-an merupakan tahun kebangkitan dan pergerakan pers nasional. Sejumlah wartawan dan tokoh pers menerbitkan surat kabar untuk menentang berbagai kebijakan dan politik Hindia-Belanda. Walau belum bersatu dalam satu organisasi pers, mereka bergerak serempak. Jumlah surat kabar di nusantara semakin banyak terutama di kota-kota besar. Tetapi mereka dilarang berserikat. Tercatat sekira 30 surat kabar dalam berbagai bentuk di Jawa Barat sampai dengan pendudukan Jepang. Surat kabar ini tersebar di Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Bogor, Sukabumi, dan Banten. Belum lagi yang terbit di Jakarta (waktu itu Jakarta bagian dari Jabar). Baik wartawan, koran maupun percetakannya diawasi dengan ketat.

Untuk mengekang wartawan dan korannya serta percetakannya, Pemerintah Hindia-Belanda memiliki senjata Haatzaai Artikelen dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-undang pengekang pers itu waktu itu Drukpers Reglement 1856 dengan sensor preventif. Untuk cetak-mencetak termaktub dalam Indische Staatregeling tahun 1923. Untuk pembredelen koran menggunakan Persbreidel-ordonantie tahun 1931. Karena itulah wartawan zaman kolonial diseret ke sidang pengadilan, dihukum penjara atau dibuang ke Boven Digul.

Di tengah-tengah ancaman dan pelaksanaan hukum seperti itu, surat kabar Bandung milik pribumi Kaoem Moeda dicaplok PEB (Politiek Economische Bond). PEB dikenal sebagai sebuah perkumpulan yang dijuluki "Tjap-tjay" atau semacam asosiasi yang didirikan oleh bekas asisten residen bernama Engelberg. Anggota-anggota terdiri dari kaum bb (pegawai binnenlandsch bestuur), kalangan "bumipoetra", dan orang-orang Belanda. Mereka memiliki kaki tangan "Sarekat Idjo", suatu organisasi gelap yang sering melakukan teror. Mereka sekaligus sebagai Marsose (pasukan keamanan bayaran) kaum kapitalis perkebunan asing. Tugasnya adalah untuk melunakkan dan menindas kaum pergerakan serta kaum buruh perkebunan.

Sumber keuangan mereka dari kaum kapitalis perkebunan milik orang asing terutama pemilik perkebunan gula. Karena kelicikan dan kekejamannya, "Sarekat Idjo" sangat ditakuti kaum buruh perkebunan. Praktik perkebunan dengan "Tjap Tjay" dan "Sarekat Idjo" ini berlangsung sampai masuknya tentara Jepang di Indonesia (Sudarjo Tjokrosisworo, Soebekti, OK. Yaman-Sekilas Perdjuangan Suratkabar 1958).

Begitu Jepang menduduki Indonesia, semua surat kabar di Indonesia diberangus. Koran-koran baru gaya Jepang-pun diterbitkan. Di Bandung diterbitkan Tjahaja, dipimpin Otto Iskandar Di Nata. Di Medan terbit Kita Somatora Simbun dipimpin Djamaluddin Adi Negoro. Di Aceh terbit Atjeh Simbun dipimpin Amelz dan di Jakarta Asia Raja dipimpin Soekardjo Wirdjopranoto. Sinar Baru diterbitkan di Semarang dipimpin Parada Harahap dan Abdul Wahab memimpin Suara Asia di Surabaya serta Sinar Matahari diterbitkan di Yogyakarta. Penerbitan lainnya juga ada di Padang, Palembang, dan Makassar.

Penerbitan ini diawasi ketat dan ditongkrongi Bagian Penerangan Jepang Bunkaka di bawah Osamu Seirei, Undang-Undang No. 16 Tahun 1942 Tentang Pers. Tujuannya sebagai Dai Toa Senso, untuk menuju kemakmuran bersama. Pada tiap koran ditempatkan seorang Sendenbu dari Barisan Propaganda Jepang. Di Asia Raya Jakarta ditempatkan Yoshio Makatani, juru bahasa pemerintah bala tentara Dai Nippon (H. Rosihan Anwar-Menulis Dalam Air. Sebuah otobiografi 1982). Untuk koran Tjahaja Bandung ditempatkan seorang pengawas Jepang dari Sendenbu. Namanya Takayanagi. Konon ia seorang wartawan di negerinya lalu diangkat sebagai seorang opsir. Di kantor Tjahaja kerjanya sering tidur (Elly Nurlaela Nataprawira dkk-Perintis dan Pengabdi BPI, 1986).

Pada zaman pendudukan, para pegawai Jepang diharuskan membaca surat kabar. Bahkan pertanyaan-pertanyaan dalam ujian sekolah banyak diambil dari isi surat kabar. Para pejabat Jepang sering menemui pegawai dan bertanya, apakah sudah membaca koran. Kalau ada pegawai yang menjawab belum, pejabat Jepang itu menegur Dame Desu. Artinya kamu bodoh.

Setelah Jepang menyerah dan tentara Sekutu diboncengi tentara Belanda, pada bulan Februari 1946 ibu kota negara Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Sejumlah wartawan juga berkumpul di ibu kota baru itu. Merasa terlepas dari belenggu di zaman Hindia-Belanda dan Jepang, para wartawan menyelenggarakan Kongres Wartawan di Surakarta tanggal 9-10 Februari 1946 itu. Kongres ini melahirkan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Menyadari kehidupan pers sebagai salah satu senjata perjuangan, Kongres PWI di Surakarta itu mengamanatkan penyatuan penerbit surat kabar. Pada tanggal 8 Juni 1946 di Serambi Kepatihan Yogyakarta berkumpul perwakilan para wartawan dan tokoh pers lainnya. Mereka antara lain Syamsuddin Sutan Makmur (Harian Rakjat, Jakarta), BM. Diah (Harian Merdeka, Jakarta), Abdul Rachmad Nasution (Kantor Berita Antara, Jakarta), Ronggodanukusumo (Harian Suara Rakjat, Mojokerto), Mohamad Koerdie (Harian Soeara Merdeka, Tasikmalaya), Bambang Suprapto (Harian Penghela Rakjat, Magelang), Sudjono (Harian Berdjuang, Malang) dan Supridjo Djojosupadmo (Harian Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta).

Delapan tokoh di atas dibantu Mr. Sumanang Surjowinoto dan Sudarjo Tjokrosiswojo masing-masing sebagai ketua dan panitera (sekretaris) PWI yang telah terpilih di Solo. Sejumlah wartawan juga berbicara pada waktu itu seperti Andjar Asmara, Pemimpin Harian Perdjoangan yang terbit di Purwakarta, Jawa Barat.

Hari Sabtu tanggal 8 Juni 1946 lahirlah organisasi Sarikat Perusahaan Suratkabar (SPS) yang di belakang hari menjadi Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) sampai sekarang. Terpilih sebagai Pengurus SPS pertama: Sjamsuddin Sutan Makmur (ketua), Suprijo Djojosupadmo (wakil ketua), dan Djamal Ali (panitera). Ronggodanukusumo, Sumanang, Moh. Koerdie, dan Sudjono sebagai pembantu. Dengan demikian, lengkaplah kepengurusan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Perusahaan Suratkabar (SPS) yang lahir pada tahun yang sama, 1946. Karena itulah PWI dan SPS sering disebut sebagai "Saudara Kembar". ***

Penulis, wartawan senior ”Pikiran Rakyat” dan Board of Director SPS Pusat.

No comments: