Tuesday, August 29, 2006

Ipah Datipah dan Pemanfaatan Limbah Susu


IPAH Datipah (59) tidak pernah mengira bahwa usaha permen karamel yang dirintisnya melalui pemanfaatan limbah susu akan mengantarkannya meraih gelar Upakarti. Bisnis ini pula yang menggiringnya untuk memiliki pabrik yang menyerap puluhan tenaga kerja.

Akhir tahun 1969 wanita kelahiran 27 Agustus 1945 ini memulai usaha pembuatan permen karamel dengan menyisihkan uang belanja harian dari suaminya, Ismail. Ia membeli limbah susu dari beberapa peternak di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.

"Waktu itu susu sapi murni belum banyak dikonsumsi orang sehingga banyak terbuang. Lalu saya iseng-iseng memanfaatkan susu yang tersisa untuk membuat permen karamel. Ternyata, permen buatan saya dibeli orang," tutur Ipah tentang awal usahanya.

Seiring dengan mengalirnya pesanan permen karamel, wanita tamatan SD Pangalengan ini memperluas penjualan permennya ke warung-warung hingga ke pasar. Susu murni tidak lagi dibelinya secara tersebar dari peternak-peternak sapi, melainkan dari Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.

Bahan dasar pembuatan permen karamel berupa susu cair dan gula pasir. Dalam seminggu, Ipah menghabiskan sekitar 30 liter susu sapi, dengan harga susu sekitar Rp 20 per liter.

Proses pengadukan larutan susu dan gula menghabiskan waktu sekitar lima jam, sebelum didinginkan dan dicetak. Alat yang digunakannya cukup sederhana, yaitu wajan dan kompor minyak tanah. Dari 30 liter susu per hari, dihasilkan kurang lebih sembilan kilogram permen karamel dengan harga Rp 2.000 per kilogram.

Usaha ini memang tak hanya dirintis Ipah. Beberapa warga lainnya di Kecamatan Pangalengan juga mengembangkan bisnis serupa dengan memanfaatkan kelebihan susu di Kecamatan Pangalengan, daerah yang dikenal sebagai penghasil susu murni di Jawa Barat.

Dari usaha kecil-kecilan pembuatan permen karamel, Ipah mampu melipatgandakan jatah uang belanja rumah tangganya. Namun, kendala justru dirasakan Ipah ketika sang suami yang bekerja sebagai peternak sapi merasa keberatan dengan kesibukan bisnisnya.

"Semula, suami saya tidak mendukung bisnis ini karena khawatir anak-anak tidak terurus," kata ibu dari 11 anak ini. Namun, karena pesanan yang terus mengalir, Ipah memutuskan untuk melanjutkan bisnis permen karamel ini. Ia mulai merekrut seorang karyawan untuk menjalankan industri kecil tersebut. Didatanginya kios- kios untuk menjajakan permen karamel buatannya yang diberi label TK.

KERJA keras Ipah membuahkan hasil. Pada tahun 1985 dengan bantuan modal dari salah satu bank pemerintah, Ipah membeli tanah seluas 25 meter persegi di samping rumahnya untuk mendirikan pabrik permen karamel. Ia juga menambah belasan karyawan untuk mengembangkan industrinya. Kegigihan ini pula yang akhirnya membuat Ipah mendapat dukungan penuh sang suami.

Namun, usahanya tidak berhenti di situ. Wanita kelahiran Pangalengan ini memperluas produknya dengan membuat dodol susu dan kerupuk susu. Jika dodol susu dan permen karamel dibuat dari susu murni berkualitas, pembuatan kerupuk susu justru memanfaatkan susu yang tak memenuhi standar kualitas atau diistilahkan dengan susu pecah.

Pembuatan kerupuk susu mengandalkan bahan baku susu pecah dari KPBS. Gumpalan susu dari susu pecah dicampur dan diaduk dengan tepung tapioka, lalu dikukus. Kemudian dipotong-potong dan dijemur selama tiga hari sehingga menghasilkan kerupuk dengan rasa asin-gurih.

Namun, pembuatan kerupuk susu hanya dilakukan pada saat stok susu pecah tersedia. "Susu pecah sering kali dibuang oleh KPBS. Daripada dibuang, saya manfaatkan susu yang tak terpakai untuk membuat kerupuk susu," ujarnya menjelaskan.

Pengembangan jenis produk tersebut mendorongnya untuk mempekerjakan sekitar 25 karyawan yang merupakan remaja- remaja setempat yang putus sekolah. Seiring dengan meluasnya pemanfaatan limbah susu oleh warga di Kecamatan Pangalengan, limbah susu murni yang melimpah di Kecamatan Pangalengan secara bertahap juga dapat dikurangi.

KETEKUNAN dan tahan gengsi menjadi kunci sukses Ipah dalam mengembangkan usahanya. Pada bulan Desember tahun 1992 Ipah memperoleh penghargaan Upakarti Jasa Pengabdian dari pemerintah. Upakarti tersebut diterimanya karena ia dianggap berjasa memanfaatkan limbah susu di Kecamatan Pangalengan pada tahun 1970-an. Selain itu, industri kecil yang dirintisnya berkembang serta mampu menyerap 25 tenaga kerja.

Ketika mendapatkan Upakarti, Ipah memanfaatkan sekitar 300 liter susu per hari untuk menghasilkan sekitar 90 kilogram karamel dan dodol susu per hari. Industri kecil yang berbuah besar.

Kini Ipah membutuhkan sedikitnya 1.000 liter susu per hari dengan harga Rp 2.000 per liter. Dalam sebulan, ia mampu memproduksi sekitar 10 ton permen karamel dan dodol susu setiap bulan.

Para pelanggan merupakan pengusaha toko kecil dan menengah yang berasal dari Kabupaten dan Kota Bandung serta Kota Jakarta. Adapun, jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai 50 orang, dengan penghasilan rata-rata berkisar antara Rp 250.000-Rp 1,5 juta per bulan. Untuk mendukung kegiatan industrinya, Ipah juga memiliki dua unit kendaraan pengangkut barang.

Pabrik yang didirikannya kini juga telah diperlebar menjadi seluas 200 meter persegi. Alat- alat yang digunakan tidak terbatas pada kompor minyak tanah, tetapi juga kompor gas.

Ipah mengakui, pameran merupakan salah satu sarana utama untuk mengenalkan produknya ke pasaran. "Pemerintah sering kali membantu saya untuk mengikuti pameran. Lewat pameran, produk saya dikenal dan laku," katanya.

Manfaat lain yang juga dirasakan dari pameran ke kota- kota lain, yaitu anak-anak dan cucunya bisa diajak turut serta. "Anak-anak saya bisa tahu penginapan, hotel, kantor-kantor, kan enak," ujar nenek dari 11 cucu ini, seraya tersenyum. "Jangan punya perasaan gengsi. Jangan malu untuk berjualan kalau ingin barang laku di pasaran," kata Ipah mengenai kiat usahanya.(BM LUKITA GRAHADYARINI)

No comments: